Seorang
pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang
mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat
jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek,
sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan
Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di
Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di
serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.
Seorang
bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman
pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan
kiamat saat itu. “Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu.
Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari
itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa.
Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan
mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh
butiran-butiran es.”
“Sekitar
pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya
seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan,
sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa. Di meja
redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang
sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat
selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer,
sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap
sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan
cepat: ‘Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.’
Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”
“Pukul
lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat.
Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari
Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat
kilatan-kilatan
seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari
bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat
masih terlihat pijaran cahaya.”
“Sudah
menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng
(Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai
isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua
prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet
batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka
masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat
itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini
daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah
terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan
meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang
sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata
mengecoh mereka!”
Batavia Jadi Dingin
“Sementara
itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti
tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit.
Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai
mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam
itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan
pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu.
Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”
“Menjelang
tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada
saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli
berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap
terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau
Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.”
“Menjelang
pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu
mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela
bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di
tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak rumah padam.
Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat masih
terdengar suara gemuruh.”
“Kemudian
saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam
saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar
kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu.
Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut
tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat
lagi, meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih
menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa,
melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam –
mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga
segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.”
“Pada
pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi
matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti
akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin
menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk
mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada
putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh
serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang
saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka
salju kelabu yang bergerak secara mekanis.”
“Sekitar
pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada
pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan
kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan
sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang
diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!”
“Pada
pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat
sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan
itu. Kawat itu berbunyi: ‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa
didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak
pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus.
Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti
pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang
di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani
keluar.’”
“Lewat
pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin,
tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok.
Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan
air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina
dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong
asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu
terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu
tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa
harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi
letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang,
tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”
“Di
sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga
matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang
kelabu. Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk
segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang
terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak
seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah
barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka
terputus.”
Serang Sunyi Mencekam
Kalau
di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, tapi di
daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung
yang sedang murka itu, akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai
utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan
meminta korban manusia cukup besar. Sembilan buah desa pantai musnah.
Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 Cina dan
Timur Asing lainnya.
Di
Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu.
Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat
terlihat dari arah Krakatau. Hari Seninnya langit di sebelah barat
berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya. Pukul setengah
sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak
terlihat apa-apa. Lewat pukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa
telah terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan
telegram dengan Jakarta terputus.
Setelah
hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang melekat pada
daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena
beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering
tetap turun. Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar
letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang membuat
banyak orang makin gugup dan tertekan. Hewan peliharaan juga makin
gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di
dekat lampu. Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil
diusir. Setelah pukul dua siang langit mulai terlihat agak terang di
sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai
terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-menerus dan bau abu
belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu masih
dinyalakan.
Surat-surat
kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan 4 September
penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah
Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah dari saksi mata, sebab
tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer, dan
Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda yang
melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.
Ketika Siuman Semua Gelap
Di
Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E.
Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang
bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat
Serang. Berita ini mungkin yang terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya
laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, yang menyebutkan
bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya, sebagian
Merak yang lebih rendah letaknya, Pecinan, jalan kereta api,
tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk
pelabuhan rusak; jembatan dan derek-derek masih di tempat saat itu,
tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.
Sekitar
pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak.
Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air
mendekat, sehingga ia lari tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi
sebelum ia mencapai puncaknya, ia sudah terkejar air pasang. Apa yang
terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…
Keesokan
harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi
ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap. Pada hari
Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia
melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat
berhentinya. Di Merak ia tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun
tak dijumpainya… semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas
pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama
Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia. Waktu
insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit
setinggi 14 m hanya tinggal lantainya saja.
Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung
Anyer
dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul
sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu,
sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman Patih dan
Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya
kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai
bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat. Caringin yang
berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya
sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil
penduduknya menyelamatkan diri.
Bukan
hanya di darat, tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal
yang kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang melayari Selat
Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan
mereka selama hidupnya. Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan
nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische
Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke Padang
dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu
berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang
penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut :
“Cuaca
pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah
pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari
pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk
Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal
kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang
lalu.”
“Waktu
Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad
beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour
pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden
kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk
mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap
putih.” “Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap
hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus
turun di geladak kapal…”
“Pada
pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi
gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras.
Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi
penumpang yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu
kapten memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang
besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus
kembali lagi.”
“Lampu
pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian
luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tandabahaya dari
kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu. Penerangan
kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu
apung yang deras…”
Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api
“Dengan
rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan
ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar
menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup
parah oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari
jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung
pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda kehidupan di kota
kecil itu…”
“Pukul
tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal
kami. Loudon sempat melakukan manouver untuk menghindar, sehingga
gelombang itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik
hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon
selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu
melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung…”
“Tak
lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di
hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai.
Kami melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan
rumah-rumah lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian
dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya
Teluk Betung kini hanya air belaka…”
“Di
kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya
sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan
cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa
yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor
latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan…”
“Akhirnya
Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia
beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer
dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak
lama kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih
pagi, cuaca makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap
seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan
selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir
setengah meter.”
“Di
ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan
yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah
arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit
bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga berdesing. Barometer
menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin
kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh
getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan
terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak
terikat kuat dilemparkan ke laut…”
Api Santo Elmo
“Tujuh
kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan
letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan
di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran
disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa
terbakar.”
“Kecuali
halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang
disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali
terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi
mendaki tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi sebelum mereka sampai
ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke tempat
lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan
yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”
“Antara
badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja
semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi
sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan
topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh
kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin
bahwa ajal mereka segera akan sampai.”
“Akhirnya
pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit
dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap.
Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai
gembira dengan rasa syukur dan lega. Memang masih ada batu apung dan abu
turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya
dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra.
Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini
hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu
dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau
besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.”
“Tampang
kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang
tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami
melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali.
Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau
itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding
kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang
mengeluarkan asap dan uap.”
“Di
laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih
merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil
dan berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat
tampak asap dikelilingi uap putih dari laut. Dengan lambat kami
mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan.
Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh
di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah
tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak,
bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai
bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi,
kehampaan dan kesepian…”
“Yang
dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan
lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak
nampak tanda-tanda kehidupan…Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput
dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya
tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang hampir lima ratus
meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak
terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain,
Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.”
Hujan Lumpur
“Pada
tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin
kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan
beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar
ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang
berada di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak mendengar
dentuman-dentuman itu…….”
Itulah
kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak
jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat.
Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi
sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang
batu bara, gudang di dermaga, dan melemparkan kapal Barouw dari sisi
timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina.
Gudang Garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di
pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di
teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal
Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.
Langit
berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau
terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi
sekitar pukul delapan keadaannya tenang. Sementara orang-orang yang
sempat mengungsi ke tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke
rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa
diambil, atau untuk melihat keadaan. Kurang lebih pukul sepuluh
tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu
pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau.
Segera
setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai
bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu
berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung,
tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan
hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh
angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan kayu-kayuan, dan
melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu tidak sadar
bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya
sejauh 50 m di kaki bukit.
Baru
keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang terjadi.
Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang
masih tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat
manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak
terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah
Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari
tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan
gelombang pertama pukul setengah tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di
tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak
kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak
ketahuan rimbanya. Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka
Krakatau paling parah, terutama adalah yang letaknya berhadapan dengan
Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.
Terjepit Dua Rumah
Seorang
Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan
berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang
ditempatkan di Beneawang, ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di
Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan
kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1883 sebagai
berikut:
“Pada
hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di
serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman
yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut
rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah telah
mempercepat jadwal kunjungannya. Saya segera mengumpulkan para kepala
adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal
di laut. Saya segera kembali ke rumah.”
“Baru
saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut
mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera
berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai
panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka membawa
wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi.
Kemudian air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”
“Sekitar
pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan
bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa
khawatir…Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan
air laut jauh lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang
biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar
guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir masih ada hal-hal yang
lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”
“Setiba
di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk
menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam
sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga
lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf tuan,
untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah.’”
“Baru
saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir!
Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang
itu agar berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di
tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama
kemudian air pasang kembali ke laut sehingga semuanya tenang kembali…”
“Ketenangan
itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan
debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada
sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka
untuk agak menenangkan mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan
runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka
untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu,
tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh
arus air.”
“Setelah
itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat
papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut
sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya
berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat
sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya
menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.”
“Di
kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan,
dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri
karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab
gelap. Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa
berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan
diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air, diputarkan,
lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua
rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira
bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah
lagi. Kemudian Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi…”
“Dengan
batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya
saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali
sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap
gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.”
Kontrolir Berteriak Minta Tolong
“Akhirnya
Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil,
bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup lumpur
sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain
flanel, telah tercabikkan dari badan saya. Saya berjalan dalam keadaan
kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak berhasil menemukan
orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”
“Saya
menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan,
sedang saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya
mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari
sungai besar.’ Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur
dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Saya bertemu
seorang Jawa, seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”
“Tak
lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti saya
berteriak: ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa obor
itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu,
tapi kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah
pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih gelap gulita…”
“Akhirnya
ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya
katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan
semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian
diteruskan ke Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami
tiba di sana. Di kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami
mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami
melarikan diri lagi ke arah pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami
mencapai desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat
ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak
pantas.”
“Mujur
bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya,
sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari
Selasa saya menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih
hidup dari tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir
seluruh Beneawang musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah ini ada
sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi
kelaparan.”
“Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu dan selop.”
Hujan
Batu Apung Membara dan Abu Panas Menurut laporan resmi, di Beneawang
sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah
itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan Residen. Termasuk Van
Zulyen, klerk griffier pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda
yang tewas. Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka
mengalami penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung
Beringin yang terletak di dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di
Betung yang berdekatan, 244 orang.
Dari
Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink
yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota
keluarganya dalam malapetaka itu. “Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus
itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung yang membara. Rakyat
melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya,
sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan, dan
kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang
yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit
ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara
anak saya juga ikut meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”
Antar
pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah kontrolir.
Ini merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak keluarganya
yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil mengungsi
ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Rajabasa. Semalam-malaman turun
hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul sebelas hujan deras,
paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu
apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah terdengar
terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau
belerang. Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh,
disusul segera oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu
panas, yang rasanya sangat nyeri saat mengenai kulit. Ini berlangsung
kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang
menyesakkan napas.
Sesudah
itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem, tetapi
lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar.
Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga
sampai Selasa pagi. Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya
menderita di bawah tempat
berteduh
yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan
diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh
luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Beyerink
akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.
Akhirnya
mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu pagi,
tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal
beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka
mendengar bahwa kontrolir dan keluarganya mengungsi di Umbul Balak.
Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang
itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kedirie bertolak
ke Jakarta.
Tersangkut Di Pohon
Kapal
bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya seorang
kakek yang berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang,
yang kemudian dirawat di rumah sakit umum di Jakarta. Dalam sebuah
wawancara dengan harian berbahasa Belanda ia mengisahkan pengalamannya
sebagai berikut : “Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju
ke pantai, tak jauh dari rumah saya di Ketimbang. Saya melihat
permukaan air laut sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada
sehari-hari, tetapi saya tidak melihat gelombang atau hal lain yang
mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya melihat air
menggulung dari kejauhan, warnanya hitam dan tingginya menyerupai
gunung. Saya hendak melarikan diri, tetapi sudah tak keburu sebab air
telah mencapai saya, sehingga saya terseret. Mujurnya, saya tersangkut
pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon itu sampai ke puncaknya.
Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya seperti tibanya tadi.
Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap
bertengger di pohon, tak berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam
air pasang tak kembali lagi, barulah saya perlahan-lahan merosot ke
bawah. Tetapi saya tak mampu berjalan karena cedera akibat hempasan
gelombang tadi. Jadi saya duduk dan rebah di bawah pohon penyelamat itu
beberapa hari dan beberapa malam dalam keadaan antara sadar dan tidak,
seperti terbius, tanpa mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya.
Tentu saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai
suatu pagi, saya sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina
menghampiri saya, lalu mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami
ditolong oleh sebuah kapal api yang membawa saya kemari.”
Demikianlah
kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka
Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang
diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu
tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang
terasa guncangan ringan.
Bulan dan Matahari Berwarna-Warni
Yang
meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang
yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara
Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas,
sedang awan panas dan gas beracun tak tercatat. Dari laporan-laporan
ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada
hari Minggu pukul 18.000, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan
pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang
menyebabkan kerusakan paling banyak. Penghancuran Teluk Betung dan
Caringin terutama diakibatkan oleh gelombang yang terakhir itu.
Setelah
aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28
Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap
seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang.
Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan
Perbuatan juga raib, dan di tempat itu terbentuk kaldera raksasa yang
berdiameter 7,4 km.
Abu
halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan
keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu,
dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar
sekitar bumi. Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah
meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi,
mengkibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar
sedikit demi sedikit. Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai
Eslandia. Kabut itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja
kala yang gilang-gemilang, matahari dan bulan berwarna, dan munculnya
corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna
merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk
Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar
belakang langit hijau.
Sebuah
majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan.
Krakatau “Lebih hebat dari bom atom.” Ledakan bom atom bukan apa-apa
dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan
sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945
memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau
diperkirakan sebesar 410 megaton! Kekuatan letusan itu setara dengan
21.428 bom atom. Sedangkan korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang
pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini.
Ini belum terhitung korban tidak langsung yang
meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.
Sumber : http://cingciripit.wordpress.com/2007/08/22/letusan-krakatau-tahun-1883-lebih-hebat-dari-bom-atom/