Saya pernah menulis dalam sebuah blog ;
Malaysia memang kecil, tetapi dikelola dengan kemauan yang besar
Indonesia memang besar, tetapi dikelola dengan kemauan yang kerdil
Kenapa
Malaysia-Indonesia yang menjadi fokus penulisan saya waktu itu? Jujur,
karena ada ketersinggungan sejarah dengan lepasnya pulau sipadan-ligitan
dahulu, belum lagi klaim sepihak Malaysia menyangkut kepemilikan blok
Ambalat. Ditambah juga Malaysia sering mengklaim warisan budaya kita
seperti batik, rendang, lagu dan lain-lain. Sayangngya Malaysia sampai
sekarang tidak mau mengklaim teroris yang beraksi dinegeri ini juga
milik mereka, seperti dr. Azhari dan Noordin M. Top, yang notabene
produk asli negeri jiran tersebut.
Terlepas dari semua itu, bicara tentang Malaysia memang asyik, unik dan menarik. Asyik, karena negara yang luasnya tak lebih luas dari pulau Kalimantan ini mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang. Terutama dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Dalam bidang ekonomi, diluar Singapura, Malaysia boleh
bangga menepuk dadanya sebagai tuan bagi tanah Melayu. Hal itu cukup
beralasan karena hampir sebagian besar tenaga kerja di Malaysia memang
berasal dari tanah Melayu, lebih-lebih dari Indonesia. Padahal, katanya,
sumber daya alam Indonesia melimpah luar biasa. Sayangnya sumber daya
alam tersebut lebih banyak jatuh ke tangan asing. Kalaupun ada yang
dikelola oleh anak bangsa sendiri, hasil perhitungannya selalu merugi. Sepertinya, Kata-kata ‘untung’ sudah hilang dalam peredaran kamus tata kelola perekonomian kita.
Rivalitas Lama
Persaingan antar dua negeri serumpun ini memang sudah berlangsung lama. Terhitung sejak Malaysia sukses mengelola harga dirinya sebagai sebuah bangsa. Diawal kemerdekaannya, Pemerintah Malaysia banyak menimbah ilmu pada kita. Tak terhitung orang terpelajar di negeri ini yang berangkat ke negeri jiran untuk membangun pendidikan di sana. Akan tetapi sekarang semuanya serba jungkir balik, kata
orang, hampir di semua sektor kita banyak tertinggal dari Malaysia.
Semua orang bertanya-tanya, dimana sesungguhnya kelemahan kita sebagai
suatu bangsa?
Survei UNDP
Dari
survei yang dilakukan oleh United Nations Development Program (UNDP)
tahun 2011, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia ternyata memang
hanya mampu bertengger di posisi 124 dari 187 negara dengan skor 0,617.
Di ASEAN kita hanya unggul sedikit dari Vietnam yang memiliki nilai IPM
0,593, Laos (IPM 0,524), Kamboja (IPM 0,523) dan Myanmar dengan IPM
0,483. Sementara peringkat IPM tertinggi diperoleh Singapura dengan
nilai 0,866. Kemudian disusul Brunei Darussalam ( IPM 0,838), lalu
Malaysia (IPM 0,761), Thailand (IPM 0,682,) dan Filipina (IPM 0,644).
Dari
survey UNDP tersebut, dapat dikatakan kita memang agak tertinggal jauh
dengan malaysia terutama dari taraf pendidikan, kesehatan, serta
kemampuan daya beli masyarakat, sebagai tolok ukur penentuan peringkat
IPM yang disyaratkan UNDP.
Hasil
survei diatas tak perlu membuat kita berkecil hati. Biarkan saja aspek
Pendidikan kita dianggap lemah, asalkan bisa menghasilkan ilmuwan yang
mumpuni dibidangnya masing-masing. Biarlah pelayanan dan peralatan
kesehatan kita dianggap ketinggalan zaman, tidak seperti malaysia yang
serba canggih, asalkan pelayanannya dapat menyentuh semua lapisan
masyarakat dengan harga terjangkau. Biarlah kemampuan daya beli kita
dipandang rendah, asalkan tak ada lagi masyarakat yang terdeteksi
mengalami busung lapar atau makan gadung.
Saatnya Berbenah
Terlepas dari jurus ‘biar dan asalkan diatas’,
kesadaran dari komponen bangsa kita memang perlu digelorakan kembali.
Terutama dari segi pengelolaan Sumber Daya Alam dan upaya peningkatan
kualitas dunia pendidikan yang masih dianggap kurang maksimal. Alokasi
anggaran pendidikan kita memang sudah mencapai 20% dari APBN. sayang
peruntukannya mayoritas habis untuk penyelenggaraan kegiatan. Bukan
untuk menghasilkan pendidikan berkualitas. Mungkin dititik ini yang
perlu dibenahi oleh para pemangku kebijakan. sebab, kunci kemajuan suatu
bangsa justeru terletak dari kepiawaiannya dalam mengelola pendidikan.
Yang lain hanyalah dampak dari keberhasilan tersebut.
beranjak
dari sini, mulai sekarang mulut Kita tak perlu berbusa-busa mengutuk
Malaysia, hanya karena ekonomi dan pendidikan mereka lebih maju dari
kita. Pun tak perlu menyatakan perang sebagimana yang diinginkan oleh
beberapa kalangan, yang hanya mendahulukan nasionalisme di kotak sempit.
Kita
juga jangan terlambat menyadari kalau Kita adalah bangsa yang besar,
sumber daya alam dan manusia berlimpah ruah. Mutiara-mutiara terpendam
masih berserakan di negeri ini. Tinggal kemauan kita saja untuk
mengumpulkan mutiara-mutiara yang berserakan tersebut, mengelolahnya
dengan tranparansi yang benar dan bertanggungjawab, setelah itu melemparkannya di pasar bebas. Dunia akan menilai mutiara mana yang lebih berkualitas.
Salam Edukasi.